Wednesday 21 November 2012

Profil Candra Malik

CANDRA MALIK, sebuah profil dan Kidung Sufi.






Candra Malik. Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 25 Maret 1978, sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan suami istri Raden Sukarsono yang bernama lain Muhammad Bashir dan Sri Ida Ningsih Ali. Dari ayahnya, dalam tubuh Candra mengalir darah Kerajaan Demak, Jawa. Oleh Sunan Kudus, leluhurnya ditugaskan mensyiarkan agama Islam ke Madura dan Jember. Sedangkan dari ibunya, mengalir darah Kerajaan Sangihe Talaud, Sulawesi. Gus Candra, demikian ia disapa, dibesarkan dalam tradisi Islam yang kental dengan nafas Sufisme.


Belajar agama dari kakek dari pihak ibunya, Abdullah Ali, sejak kanak-kanak, Candra tumbuh dengan mengakrabi ritual-ritual Tasawuf. Ia juga mengaji kepada Habib Ja'far bin Badar bin Thalib bin Umar bin Ja'far, guru dari kakeknya, di Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah. Pada 1993, Candra lebih mendalami lagi Ilmu Tasawuf dengan belajar kepada Kiai Muhammad Muna'am, seorang mursyid yang tinggal di Sukosari, Sukowono, Jember, Jawa Timur, meski harus mondar-mandir.

Sambil bekerja sebagai wartawan di suratkabar Jawa Pos pada akhir 1999 di Yogyakarta, Candra menimba kearifan Sufisme dengan belajar kepada Syekh Ahmad Sirullah Zainuddin, wakil talqin dari Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyah, sebelum akhirnya pada 2001 belajar langsung kepada mursyid tarekat tersebut, yaitu K.H. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin [Abah Anom], yang juga pengasuh Pesantren Suryalaya, di Jawa Barat.


Setelah sebagian gurunya wafat, Candra seizin Syekh Ahmad Sirullah Zainuddin meneruskan belajar Tasawuf kepada Mawlana Syekh Hisyam Kabbani, mursyid Tarekat Naqsabandiy Haqqani, pada 2010. Setahun kemudian, dia menghadap kepada seorang Waliyullah, K.H. Kholilurrahman [Ra Lilur], di Bangkalan, Madura, cicit dari Waliyullah Besar, K.H. Kholil bin Abdul Latief atau lebih dikenal dengan Syaikhona Kholil Bangkalan, untuk semakin memantapkan Jalan Sunyi Tasawuf dalam hidupnya.


Ditinggal wafat oleh ayahnya ketika masih remaja tak membuat Candra putus asa, apalagi ia memang memilih hidup tak serumah dengan keluarganya, sejak sekolah menengah atas. Ia juga tak sempat belajar agama dari K.H. Mashuri di Kalisat, Jember, Jawa Timur, karena kakek dari pihak ayahnya ini telah wafat sebelum Candra dilahirkan.


Sejak berhenti dari Jawa Pos dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Liputan Indo.Pos, koran jaringan Jawa Pos di Jakarta, Candra Malik bekerja sebagai kontributor di sejumlah media cetak. Antara lain, Tabloid Nyata, Majalah ART Indonesia, dan Majalah Travel Lounge. Saat ini, ia masih menulis untuk koran berbahasa Inggris, The Jakarta Globe. Candra juga mengasuh sebuah kolom tentang Sufisme di Solopos, sebuah koran lokal di Jawa Tengah, bertajuk Matahati, di rubric Khazanah.

Memiliki tempat tinggal di kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah, dan mengasuh Pesantren Asy-Syahadah, di Desa Segoro Gunung, di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah; Candra dan istrinya, Anis Ardianti, beserta tiga anak mereka; Abra Bumandhala Byoma [7], Arane Langit Manikmaya [5], dan Cyra Akasha Bumi [1,5] kini tinggal di Depok, selatan Jakarta. Secara reguler, ia masih mengajar di pesantren Tasawuf tersebut, namun menggunakan sebagian waktunya untuk silaturahmi. dan ziarah ke berbagai daerah di Indonesia.


Hidup di jalan sufi membuat Candra sensitif menerima isyarat-isyarat alam dan Ilahi. Dia seketika banting-setir menjadi pencipta lagu dan penyanyi setelah mendapat perintah yang ia yakini datang dari Tuhan. Dalam Kenduri Cinta pada akhir 2011, Emha Ainun Nadjib [Cak Nun] membenarkan adanya isyarat Tuhan itu dan merestui langkah Candra. Sejak September 2011, Candra telah merekam 12 lagu sufistik yang ia sebut sebagai Kidung Sufi dan segera merilis album perdana.


Kedekatannya dengan kalangan agamawan-budayawan memudahkan langkah Candra untuk melibatkan Wakil Rais Syuriah PBNU K.H. Ahmad Mustafa Bisri [Gus Mus] dan Can Nun dalam album religi ini. Cak Nun menulis khusus sajak Mukaddimah Cinta untuk album Candra ini dan membacakannya dalam track pembuka, sedangkan Gus Mus membacakan sajak Pesona dalam track penutup. Candra juga memasukkan rekaman vokal K.H. Abdurrahman Wahid [Gus Dur] dalam lagu Syahadat Cinta, atas izin Keluarga Ciganjur.


Dukungan moril atas pembuatan album Kidung Sufi ini datang dari berbagai kalangan, salah satunya dari Bondan Winarno, wartawan senior yang kini berkiprah dalam dunia kuliner. Berkat Bondan, Candra menembus sejumlah nama besar dalam blantika musik Indonesia, dua di antaranya, solo-violist Idris Sardi dan composer Addie MS. Didi Nugrahadi, penggerak Obrolan Langsat (Obsat) juga berkomitmen membantu memasarkan album Candra melalui jejaring Social Media. Begitu pun Gus Nukman Luthfie, melalui Musikkamu.com.


Dalam album ini, Idris Sardi mengaransemen dan bermain biola dalam orkestrasi lagu Kidung Sufi, featuring Gus Mus. Addie mengaransemen lagu Shiratal Mustaqim dan memimpin Twilite Orchestra memainkan lagu tersebut, featuring Tohpati. Nama-nama besar lainnya adalah Dewa Budjana yang mengaransemen dan bermain gitar dalam lagu Jiwa yang Tenang, Trie Utami ikut bernyanyi dalam dua lagu -- Fatwa Rindu dan Fana Selamanya, dan Dalang Ki Sujiwo Tejo berkolaborasi dengan rapper Marzuki Mohamad Kill The DJ (Jogjakarta Hip Hop Foundation) dan penyanyi reggae Heru Shaggydog dalam lagu Samudera Debu.


Dik Doank memimpin anak-anak asuhnya yang tergabung dalam Komunitas Kandank Jurank Doank untuk ikut bernyanyi dalam lagu Syahadat Cinta. Pemain biola Hendri Lamiri dan gitaris John Paul Ivan ex Boomerang juga tampil dalam lagu Syahadat Cinta tersebut. Keterlibatan belasan musisi ini mewarnai, sekaligus membuktikan kualitas, Kidung Sufi yang digarap Candra Malik ini. Rizki Soekirno, akrab disapa Uki Rebek, banyak membantunya dalam aransemen dan mencipta lagu Allahu Ahad, dan Andri Ardiyanto, gitaris dari Solo, mencipta lagu Hasbunallah.


Kidung Sufi adalah brand yang dipilih Candra untuk menggantikan istilah album religi atau album ruhani supaya lebih tajam dan spesifik. Sedangkan untuk judul album, dia memilih memberinya tajuk “Samudera Cinta”, yang memberi pengertian tentang betapa Cinta sanggup menerima air dari sungai mana pun dan dalam keadaan air yang bagaimana pun. Ia memeroleh judul tersebut setelah berdiskusi dengan Agus Noor, art director dan penulis naskah papan atas di Indonesia.


Candra Malik juga menulis cerita pendek, dan karya-karyanya pernah diterbitkan di Majalah Sastra Horison, Koran Tempo Minggu, Suara Merdeka, Suara Karya, Majalah Femina, dan lain-lain. Namun, ia tipikal penulis yang sangat moody sehingga belum banyak menciptakan karya sastra. Sebagian puisi sufistik karyanya disimpan untuk pribadi.


Mengelola akun Twitter @candramalik dengan lebih dari 18 ribu followers, Candra menulis tweet dengan tagar #FatwaRindu dan #seucap yang menjadi favorit banyak kalangan dilihat dari kuantitas Retweet. Ia juga mengelola akun Twitter @SufiKota dengan lebih dari 3 ribu followers meski 0 following alias tidak mengikuti akun Twitter pihak lain, dan sangat jarang menulis tweet. Fokus akun ini pada tema Sufisme.


Di sela kesibukan keliling Indonesia untuk sowan kiai dan silaturahmi, Candra mengasuh Pesantren Asy-Syahadah di Segoro Gunung, lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah, untuk kalangan sangat terbatas, yang mengajarkan khusus tentang Tasawuf. Ia juga menulis tema Sufisme di Rubrik Matahati di Halaman Khazanah di Koran Solopos di Solo, Jawa Tengah, edisi Jum'at. Kini, ia sedang membangun website http://www.candramalik.com.


Artikel Terkait:

Design by BlogSpotDesign | Ngetik Dot Com